•Perbedaan dan Persamaan•
antara
Sunan Gunungjati dan Fatahillah
Sunan Gunung Jati. Nama ini pasti sudah tidak asing lagi didengar. Namun, masih ada
satu yang mengganjal. Fatahillah. Apakah Sunan Gunung Jati
sama dengan Fatahillah? Banyak sekali pendapat mengenai hal yang satu ini.
Berikat saya akan memberikan sedikit tentang satu atau dua tokoh tersebut
dengan mengutip dari beberapa sumber.
Nama aslinya adalah Syech Syarief
Hidayatulloh yang dilahirkan Tahun 1448 Masehi. Ayahanda Syech Syarief Hidayatulloh
adalah Syarief Abdullah, seorang dari Mesir keturunan ke 17 Rosulullah SAW,
bergelar Sultan Maulana Muhamad, Ibunda Syech Syarief Hidayatullah adalah Nyai
Rara Santang dan setelah masuk Islam berganti nama menjadi Syarifah Muda’im
adalah Putri Prabu Siliwangi dari kerajaan Padjajaran. Syech Syarief
Hidayatullah berkelana untuk belajar Agama Islam dan sampai di Cirebon pada
tahun 1470 Masehi. Syech Syarief Hidayatullah dengan didukung uwanya,
Tumenggung Cerbon Sri Manggana Cakrabuana alias Pangeran Walangsungsang dan
didukung Kerajaan Demak, dinobatkan menjadi Raja Cerbon dengan gelar Maulana
Jati pada tahun 1479.
Nah sekarang, siapakah Fatahillah
Faaletehan atau Tagari itu
sebenarnya?
Satu pendapat mengatakan ia berasal
dari Pasai, Aceh Utara,
yang kemudian pergi meninggalkan Pasai ketika daerah tersebut dikuasai Portugis.
Fatahillah pergi ke Mekah, lalu ke tanah Jawa, Demak, pada masa
pemerintahan Sultan Trenggono. Ada pendapat lain yang mengatakan bahwa
Fatahillah adalah putra dari raja Makkah (Arab) yang menikah dengan putri kerajaan Pajajaran. Pendapat lainnya lagi
mengatakan Fatahillah dilahirkan pada tahun 1448 dari pasangan
Sultan Syarif Abdullah Maulana Huda, pembesar Mesir keturunan Bani
Hasyim dari Palestina, dengan Nyai Rara Santang, putri dari raja Pajajaran,
Raden Manah Rasa. Namun tidak jelas dari tradisi mana ketiga pendapat ini
berasal.
Ada sumber sejarah yang mengatakan sebenarnya
ia lahir di Asia Tengah (mungkin di Samarqand), menimba ilmu ke Baghdad, dan
mengabdikan dirinya ke Kesultanan Turki, sebelum bergabung dengan Kesultanan
Demak. Namun pendapat ini juga tidak jelas berasal dari mana.
FAKTA YANG MENUNJUKKAN SUNAN GUNUNG JATI
DAN FATAHILLAH ITU BERBEDA
1. Sunan Gunung Jati adalah seorang ulama besar dan muballigh yang
lahir turun-temurun dari para ulama keturunan cucu Muhammad, Imam Husayn. Nama
asli Sunan Gunung Jati adalah Syarif Hidayatullah putra Syarif Abdullah putra Nurul Alam putra
Jamaluddin Akbar. Salah satu putra Syekh Jamaluddin Akbar (lebih dikenal
sebagai Syekh Maulana Akbar) adalah Syekh Ibrahim Akbar (ayah Sunan Ampel).
Sedangkan Fatahillah adalah seorang Panglima Pasai, bernama Fadhlulah
Khan, orang Portugis melafalkannya sebagai Falthehan. Ketika Pasai dan Malaka
direbut Portugis, ia hijrah ke tanah Jawa untuk memperkuat armada kesultanan-kesultanan
Islam di Jawa (Demak, Cirebon dan Banten) setelah gugurnya Raden Abdul Qadir
bin Yunus (Pati Unus, menantu Raden Patah
Sultan Demak pertama).
2. Dalam wawancara dengan majalah Gatra di akhir
dekade 90, alm. Sultan Sepuh Cirebon juga mengkonfirmasi perbedaan 2 tokoh
besar ini dengan menunjukkan bukti 2 makam yang berbeda. Syarif Hidayatullah
yang bergelar Sunan Gunung Jati sebenarnya dimakamkan di Gunung Sembung,
sementara Fatahillah (yang menjadi menantunya dan Panglima Perang pengganti
Pati Unus) dimakamkan di Gunung Jati.
3. Menurut Saleh Danasasmita sejarawan Sunda yang menulis sejarah Pajajaran dalam bab Surawisesa, Fadhlullah Khan masih berkerabat dengan Walisongo karena kakek buyutnya Zainal Alam Barakat adalah adik dari Nurul Alam Amin (kakek Sunan Gunung Jati) dan kakak dari Ibrahim Zainal Akbar (ayah Sunan Ampel) yang semuanya adalah putra-putra Syekh Maulana Akbar dari Gujarat,India.
TRADISI ISLAM DI MELAYU, DAERAHKU !
1.
Petang Megang, Pekanbaru
Tradisi di Pekanbaru ini memiliki arti yang sesuai dengan namanya. Kata
Petang di sini berarti petang hari atau sore hari, sesuai dengan waktu
dilaksanakan tradisi ini yang memang dilaksanakan pada sore hari. Sedangkan
Megang disini berarti memegang sesuatu yang juga dapat diartikan memulai
sesuatu. Hal ini sesuai dengan waktu diadakan tradisi ini yaitu sebelum
Ramadhan dan ingin memulai sesuatu yang baik dan suci yaitu puasa.
Tradisi Petang Megang dilaksanakan di Sungai Siak. Hal ini mengacu pada
leluhur suku Melayu di Pekanbaru yang memang berasal dari Siak. Tradisi ini
diawali dengan ziarah ke berbagai makam pemuka agama dan tokoh-tokoh penting
Riau. Ziarah dilakukan setelah sholat Dzuhur. Lalu dilanjutkan dengan ziarah
utamanya yaitu ziarah ke makam Sultan Muhammad Ali Abdul Jalil Muazzam Syah,
yang juga dikenal dengan nama Marhum Pekan. Beliau merupakan sultan kelima
Kerajaan Siak Sri Indrapura (1780-1782 M) dan juga pendiri kota Pekanbaru.
2.
Mandi Balimau Kasai, Kampar
Balimau Kasai adalah sebuah upacara tradisional yang istimewa bagi
masyarakat Kampar di Provinsi Riau untuk menyambut bulan suci Ramadan. Acara
ini biasanya dilaksanakan sehari menjelang masuknya bulan puasa. Upacara
tradisional ini selain sebagai ungkapan rasa syukur dan kegembiraan memasuki
bulan puasa, juga merupakan simbol penyucian dan pembersihan diri. Balimau
sendiri bermakna mandi dengan menggunakan air yang dicampur jeruk yang oleh
masyarakat setempat disebut limau. Jeruk yang biasa digunakan adalah jeruk
purut, jeruk nipis, dan jeruk kapas.
Sedangkan kasai adalah wangi- wangian yang dipakai saat berkeramas. Bagi
masyarakat Kampar, pengharum rambut ini (kasai) dipercayai dapat mengusir
segala macam rasa dengki yang ada dalam kepala, sebelum memasuki bulan puasa.
3.
Jalur pacu, Kuantan Singingi
Di Kabupaten Kuantan Singingi, Riau, masyarakatnya memiliki tradisi yang
mirip dengan lomba dayung. Tradisi “Jalur Pacu” ini digelar di sungai-sungai di
Riau dengan menggunakan perahu tradisional, seluruh masyarakat akan tumpah ruah
jadi satu menyambut acara tersebut.
Tradisi yang hanya digelar setahun sekali ini akan ditutup dengan
“Balimau Kasai” atau bersuci menjelang matahari terbenam hingga malam.
4.
Tahlil Jamak/ Kenduri Ruwah, Kepulauan
Riau
Warga Pulau Penyengat, Kota Tanjungpinang, Kepulauan Riau, punya tradisi
khas menyambul datangnya bulan puasa, yaitu menggelar Tahlil Jamak atau Kenduri
Ruwah. Tahlil Jamak itu berupa zikir serta berdoa untuk para arwah orang tua
atau sesama muslim. Selain doa, juga dilaksanakan kenduri dengan sajian menu
kenduri yang bersumber dari sumbangan sukarela warga.
Tradisi tersebut disatukan sejak berdirinya Masjid Penyengat. Bahkan,
sampai saat ini, Kenduri Ruwah masih dilakukan secara berjemaah di masjid
tersebut.
Tentu masih banyak lagi tradisi masyarakat melayu Riau dalam menyambut
datangnya bulan puasa, dan sudah sepatutnya tradisi budaya sebagai bentuk suka
cita dan memuliakan datangnya bulan suci ini terus kita lestarikan sepanjang
masa, khususnya kepada generasi muda agar tidak musnah tergerus zaman.